Belajar Dari Kasus GKI Yasmin, Relokasi Bukan Solusi Untuk Memajukan Kebebasan Beragama

Aturan terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia semakin menguat selama dua dekade terakhir, terutama setelah dimasukkannya istilah tersebut dalam konstitusi melalui amandemen UUD 1945 pada tahun 2000. Namun, kenyataannya masih banyak kasus pelanggaran KBB yang belum berhasil diatasi dengan baik, tanpa memprioritaskan mediasi dan pemenuhan hak pihak yang terkena dampak. Oleh karena itu, penting untuk menekankan penyelesaian konflik sebagai bagian integral dari upaya membangun relasi sosial antar kelompok.

Diskusi Buku Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama pada Rabu (10/1) di Auditorium Sekolah Pascasarjana (SPs) UNSIR, menjadi ajang untuk menggali pandangan tersebut. Acara ini melibatkan penulis buku dan pengelola Program Studi Agama dan Lintas Budaya SPs UNSIR, Dr. Zainal Abidin, Dr. Dr. Diah Kusumaningrum dari Fisipol UNSIR, Kharisma W. Kusuma dari LBH Yogyakarta, dan Komisioner Komnas HAM, Uli P. Sihombing.

Zainal Abidin Bagir menyoroti bahwa meskipun advokasi KBB semakin kuat setelah amandemen UUD 1945 tahun 2000, kenyataannya masih muncul kasus-kasus pelanggaran seperti serangan terhadap jemaat Ahmadiyah, kasus parung, dan kasus Lia Eden pada tahun 2005. Salah satu fokusnya adalah kasus GKI Yasmin di Bogor pada tahun 2006, yang proses penyelesaiannya memakan waktu hingga 15 tahun. Bagir menegaskan bahwa model penyelesaian konflik yang mewajibkan relokasi tidak boleh dijadikan contoh yang baik. Menurutnya, resolusi konflik harus berfokus pada membangun relasi antar kelompok, bukan sekadar relokasi.

Zainal menilai lambannya penyelesaian kasus GKI Yasmin disebabkan oleh ketidakadanya proses mediasi dan relasi antar kelompok. Sebaliknya, pihak-pihak yang terlibat lebih cenderung saling menggugat secara legal formal ke pengadilan, yang tidak pernah mencapai titik temu. Bagir menekankan bahwa upaya pendekatan sejak awal dengan mediasi dan negosiasi dapat mencegah penundaan yang panjang.

Dr. Diah Kusumaningrum berpendapat bahwa konflik akan selalu muncul selama manusia hidup bersama, dan seharusnya dapat menjadi alat pendorong keadilan sosial jika dikelola dengan baik. Ia menyoroti bahwa pendekatan yang mengedepankan kekuasaan dan kekerasan akan membuat konflik menjadi destruktif. Dalam konteks ini, ia menekankan pentingnya pendekatan yang paling sedikit merugikan dan mengutamakan prinsip keadilan sosial serta kemampuan masyarakat dalam menghargai perbedaan.

Kharisma W. Kusuma dari LBH Yogyakarta menambahkan bahwa meskipun relokasi dalam kasus GKI Yasmin dianggap sebagai upaya normalisasi konflik, kebijakan tersebut justru dapat mempertahankan praktek intoleransi di masyarakat. Pengalaman di Yogyakarta menunjukkan adanya kasus serupa di mana kelompok minoritas mengalami tekanan dan intimidasi dari kelompok mayoritas. Kharisma menegaskan bahwa pendekatan yang lebih positif, seperti gotong royong dalam mendirikan gereja dan masjid di Ngentak, Sleman, adalah contoh yang lebih baik dalam membangun hubungan antar kelompok dan memecahkan konflik.

Artikel ini mencoba untuk meresapi dan menyampaikan kembali pokok-pokok penting dari diskusi tersebut tanpa mengulangi sepenuhnya struktur atau ungkapan dari sumber asli.